Rabu, 01 Desember 2010

malpraktek

Malpraktek Dokter Ternyata Tidak Dapat Dihukum

3 dari 7 Kompasianer menilai Menarik.
31 Mei 2010 masalah MALPRAKTEK dibicarakan di majalah Tempo dan saya menunggu apakah ada yang mau berkomentar atau protes atas berita ini. Ternyata tidak. Mungkin terlewatkan, atau mungkin agak menahan diri untuk tidak ingin dikatakan sebagai tukang protes atau cerewet.
Hal yang sangat sangat penting diketahui dari pemberitaan ini adalah APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN MALPRAKTEK DAN APA YANG BUKAN.
Sementara ini kaum awam pinggir jalan seperti saya berfikir bahwa kalau seorang dokter atau tenaga medis lainnya melakukan kesengajaan misalnya mencuri organ tubuh manusia, meracun pasien dengan sengaja, maka ini adalah kriminal murni, tak ubahnya dengan pembunuh atau pemerkosa yang dijerat langsung saja dengn pidana kriminal. Sedangkan pengertian saya untuk Malpraktek adalah bila Dokter melakukan kelalaian tindakan, apakah itu memberi obat salah, melakukan diagnosa salah, melakukan operasi salah yang mengakibatkan pasiennya menderita ataupun mati. Dan kelalaian seperti ini dapat diganjar dan dihukum, karena akibat kelalaiannya, seseorang mendapat kerugian, apakah kesehatannya memburuk atau dia mati.
Ternyata BUKAN. Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia [MKDKI] memberikan keterangan mengenai hal ini. Seperti contoh yang disebutkan diatas, maka bila seorang tenaga medis mencuri organ seorang pasien, atau dengan sengaja meracuni pasien, maka itulah yang disebut sebagai MALPRAKTEK. Dan ini dapat dituntut dengan hukum pidana. Sedangkan pada contoh selanjutnya, dimana seorang Dokter atau tenaga medis yang karena kelalaiannya atau kebodohannya mengakibatkan pasien menderita atau mati sekalipun….. ITU BUKAN MALPRAKTEK. Itu hanya kelalaian dan BUKAN MALPRAKTEKHal ini secara jelas diterangkan pada artikel tersebut oleh petinggi para Kesehatan. KELALAIAN [MAUPUN KEBODOHAN] itu bukan MALPRAKTEK. Disebutkan disana, kalaupun ada kasus hukumnya, maka paling paling adalah masalah perdata dimana pasien dapat diberikan ganti rugi sebesar pengeluaran medis yang diakibatkannya.
Disebutkan juga bahwa dalam hal kasus kelalaian dokter, sangat sulit untuk membuktikan dengan jelas apakah Dokter melakukan kelalaian, karena masalah kesehatan dianggap hal yang sangat ruwet dan banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Terkesan Majelis Kehormatan tadi sangat melindungi para anggotanya, seperti yang dikatakan berbagai pihak.
Pada akhir artikel ini, pembaca ditinggalkan dengan kesan bahwa para dokter ini kebal hukum dan tidak ada yang dapat dibuat bila mereka melakukan kelalaian.
Hal ini sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Sangat perlu melakukan peninjauan atas peraturan yang sangat timpang ini. Sebagai contoh gampang saja, seorang supir yang menabrak orang, akibat kelalaian supir tadi [maupun juga akibat kelalaian yang ditabrak] dapat segera masuk penjara. KUHP sendiri juga dengan tegas menyatakan bahwa bila seseorang melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian seseorang, maka ia dapat dipidanakan. Mengapa Dokter tidak?
Pada artikel ini disebut [dan juga pada banyak artikel lain termasuk di Kompasiana] bahwa bila Dokter terlalu diancam untuk tidak dapat berbuat salah, maka para Dokter tidak ada lagi yang mau mengobati orang lain, dan ini akan merugikan masyarakat sendiri…. Saya terhenyak dan merinding. Apakah sudah seburuk ini mental para dokter ini? Apakah ini bukan ancaman bagi masyarakat secara terbuka dan kekanak kanakan? Bila hal yang sama dikatakan oleh para supir, para pilot atau professi lain, maka tidak akan ada orang yang bekerja di negeri ini.
INI ADALAH AKIBAT LANGSUNG DARI INDUSTRIALISASI KEDOKTERAN yang tidak mengindahkan tanggung jawab profesi dan sangat bertumpu pada keuntungan bisnis semata. QUO VADIS…


Tags: malpraktek, hukum, industri kedokteran, omri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar