Rabu, 15 Desember 2010

TUGAS JAWABAN POST TEST

1.E 2.E 3.D 4.E 5.E 6.A 7.E 8.D 9.A 10.D 11.B 12.A 13.A 14.E 15.B 16.B 17.C 18.D 19.D 20.E 21.B 22.E 23.E 24.E 25.C 26.E 27.C 28.E 29.E 30.E

Selasa, 14 Desember 2010

Kuantitas versus kualitas hidup

Kuantitas versus kualitas hidup
cONTOH 1
Seorang nenek tua yang menderita berbagai penyakit kronis telah menolak makan dan minum di rumahnya dan tidak mau minum obat yang dianjurkan perawat puskesmas dengan alasan supaya cepat meninggal daripada tersiksa. Anak perempuan pun mendukung agar sang nenek tidak dirawat di puskesmas. Beberapa hari kemudian nenek tersebut meninggal .
Notes : Kuantitas hidup buruk karena nenek tidak diberi pelayanan kesehatan karena pihak keluarga tidak menyetujuinya. Kualitas hidup juga buruk karena kesehatan nenek berujung pada kematian.

cONTOH 2
Seorang suami yang kecelakaan dan mengalami luka parah serta koma , namun dia tidak diberikan pelayanan kesehatan di puskesmas. Tapi karena sang istri selalu mendoakannya kepeada tuhan tulus. Akhirnya sang suami bisa sadar dari komanya,dan bisa sembuh seperti semula.
Notes : Kuantitas hidup buruk karena si suami tidak dberi pelayanan kesehatan dengan baik. Namun kualitas hidup baik karena sang suami masih bisa sembuh berkat doa sang istri yang tulus

MASALAH ETIKA MORAL DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN PENGERTIAN ETIKA MORAL

MASALAH ETIKA MORAL DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN
PENGERTIAN ETIKA MORAL

Etika adalah ilmu ttg kesusilaan yg bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yg melibatkan aturan atau prinsip yg menentukan tingkah laku
yang benar.
Moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yg merupakan “standar perilaku” dan “nilai” yang harus diperhatikan bila seseorang menjadi anggota masyarakat tempat ia tinggal.

Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang serta
menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat baik berupa kata- kata maupun bentuk perbuatan yang nyata.

Etika, moral dan etiket sulit dibedakan, hanya dapat dilihat bahwa etika lebih
dititikberatkan pada aturan, prinsip yang melandasi perilaku yang mendasar dan mendekati aturan, hukum dan undang2 yang membedakan benar atau salah secara
moralitas


nilai-nilai moral yang ada dalam kode etik keperawatan Indonesia (2000), diantaranya:
1.Menghargai hak klien sebagai individu yg bermartabat dan unik
2.Menghormati nilai-nilai yang diyakini klien
3.Bertanggung jawab terhadap klien
4.confidentiality

Metoda pendekatan pembahasan masalah etika

Dari Ladd J (1978), dikutip oleh Freld(1990) menyatakan ada empat metoda utama membahas masalah etika:
1.Otoritas
2.Consensum hominum
3.Pendekatan intuisi atau self evidence
4.Metode argumentasi

Penjelasan
1.Metode otoritas

Menyatakan bahwa dasar setiap tindakan atau keputusan adalah otoritas. Otoritas dapat berasal dari manusia atau kepercayaan supernatural, kelompok manusia, atau suatu institusi seperti majelis ulama, dewan gereja atau pemerintah.

2.Metode Consensum Hominum

Menggunakan pendekatan berdasarkan persetujuan masyarakat luas atau sekelompok manusia yang terlibat dalam pengkajian suatu masalah.Segala sesuatu yang diyakini bijak dan secara etika dapat diterima, dimasukkan dalam keyakinan.


3.Metode Pendekatan Intuisi/Self-evidence

Metode ini dinyatakan oleh para ahli filsafat berdasarkan pada apa yang mereka kenal sebagai konsep teknik intuisi.Metode ini terbatas hanya pada orang- orang yang mempunyai intuisi tajam


4.Metode Argumentasi atau Metode Sokratik

Menggunakan pendekatan dengan mengajukan pertanyaan atau mencari jawaban dengan alasan yang tepat.Metode ini digunakan untuk memahami fenomena etika


Masalah Etika Keperawatan

Bandman (1990) menjelaskan bahwa masalah etika keperawatan pada dasarnya terdiri atas lima jenis. Kelima masalah tersebut akan diuraikan dl rangka perawat
“mempertimbangkan prinsip etika yang bertentangan”.


Lima masalah dasar etika keperawatan
1.Kuantitas versus kualitas hidup
2.Kebebasan versus penanganan dan pencegahan bahaya
3.Berkata jujur versus berkata bohong
4.Keinginan terhadap pengetahuan yg bertentangan dg falsafah, agama, politik, ekonomi, dan ideologi
5.Terapi ilmiah konvensional versus terapi tidak ilmiah dan coba-coba


Lima faktor yang harus diertimbangkan dalam penanganan masalah etika

1.Pernyataan dari klien yg pernah diucapkan kpd anggota keluarga, teman2nya dan petugas kesehatan
2.Agama dan kepercayaan klien
3.Pengaruh terhadap anggota klg klien
4.Kemungkinan akibat sampingan yang tidak dikehendaki
5.Prognosis dengan atau tanpa pengobatan

Lima masalah dasar etika keperawatan yg berhubungan dg “pertimbangan prinsip
etika yg bertentangan”.
Penjelasan
1.Kuantitas versus kualitas hidup
Contoh: Seorang ibu meminta perawat untuk melepas semua selang yg diapsang pada anaknya yg telah koma delapan hari. Keadaan seperti ini, perawat menghadapi masalah
posisinya dalam menentukankeputusan secara moral


2.Kebebasan versus penanganan dan pencegahan bahaya
Contoh adalah seorang klien berusia lanjut yang menolak untuk mengenakan sabuk pengaman waktu berjalan, ia ingin berjalan dengan bebas. Pada situasi ini perawat menghadapi masalah upaya menjaga keselamatan klien yang bertentangan dengan
kebebasan klien

3Berkata jujur versus berkata bohong
Contoh: seorang perawat yg mendapati teman kerjanya menggunakan narkotika.
Dalam posisi ini perawat tersebut berada dalam pilihan apakah akan mengatakan hal ini secara terbuka atau diam karena diancam akan dibuka rahasia yg dimilikinya bila
melaporkan pada orang lain

4.Keinginan tarhadap pengetahuan yg bertentangan dg falsafah agama, politik, ekonomi dan ideologi

a.Beberapa masalah yg dapat diangkat sebagai contoh seorang klien memilih
ke dukun daripada ke dokter.
b.Kampanye anti rokok demi keselamatan bertentangan dengan kebijakan
ekonomi
c.Alokasi dana untuk kepentingan militer lebih besar daripada untuk
kepentingan kesehatan

5.Terapi ilmiah konvensional versus terapi tidak ilmiah dan coba-coba

Hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki praktek terapi konvensional yang masih dianggap sebagai tindakan yang dapat dipercaya.

Secara ilmiah tindakan tsb sulit dibuktikan kebenarannya, namun sebagian masyarakat
mempercayainya.

TEORI TEORI KEPERAWATAN

TEORI TEORI KEPERAWATAN
BAB I
Teori-teori Keperawatan

A.

Latar Belakang
Keperawatan sebagai bagian integral pelayanan kesehatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang didasarkan pada ilmu keperawatan. Pada perkembangannya ilmu keperawatan selalu mengikuti perkembangan ilmu lain, mengingat ilmu keperawatan

merupakan ilmu terapan yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga dengan pelayanan keperawatan di Indonesia, kedepan diharapkan harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat serta teknologi bidang kesehatan yang senantiasa berkembang. Pelaksanaan asuhan keperawatan di sebagian besar rumah sakit Indonesia umumnya telah menerapkan pendekatan ilmiah melalui proses keperawatan. Profesi keperawatan adalah profesi yang unik dan kompleks. Dalam melaksanakan prakteknya, perawat harus mengacu pada model konsep dan teori keperawatan yang sudah dimunculkan. Konsep adalah suatu ide dimana terdapat suatu kesan yang abstrak yang dapat diorganisir dengan smbol-simbol yang nyata, sedangkan konsep keperawatan merupakan ide untuk menyusun suatu kerangka konseptual atau model keperawatan
.
Teori adalah sekelompok konsep yang membentuk sebuah pola yang nyata atau suatu pernyataan yang menjelaskan suatu proses, peristiwa atau kejadian yang didasari fakta-fakta yang telah di observasi tetapi kurang absolut atau bukti secara langsung.Yang dimaksud teori keperawatan adalah usaha-usaha untuk menguraikan atau menjelaskan fenomena mengenai keperawatan. Teori keperawatan digunakan sebagai dasar dalam menyusun suatu model konsep dalam keperawatan,dan model konsep keperawatan digunakan dalam menentukan model praktek keperawatan. Berikut ini adalah ringkasan beberapa teori keperawatan yang perlu diketahui oleh para perawat profesional sehingga mampu mengaplikasikan praktek keperawatan yang didasarkan pada keyakinan dan nilai dasar keperawatan.
Penyusun Teori:
Nightingale (1860)
Tujuan Keperawatan: Untuk memfasilitasi “proses penyembuhan tubuh” dengan
memanipulasi lingkungan klien (Torres, 1986). Kerangka Kerja Praktik: Lingkungan klien dimanipulasi untuk mendapatkan ketenangan, nutrisi, kebersihan, cahaya, kenyamanan, sosialiasi, dan harapan yang sesuai Penyusun Teori:
Peplau (1952)
Tujuan Keperawatan: Untuk mengembangkan interaksi antara perawat dan klien Kerangka Kerja Praktik: Keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal
(1952) Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur sistem asuhan kesehatan untuk memfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk mengembangkan hubungan interpersonal (Marriner-Torney, 1994) Penyusun Teori:
Henderson (1955)
Tujuan Keperawatan: Untuk bekerja secara mandiri dengan tenaga pemberi pelayanan kesehatan (Marriner-Torney, 1994), membantu klien untuk mendapatkan kembali kemandiriannya secepat mungkin. Kerangka Kerja Praktik: Praktik keperawatan membentuk klien untuk melakukan 14 kebutuhan dasar Henderson (Henderson, 1966) Penyusun Teori:
Abdellah (1960)
Tujuan Keperawatan: Untuk memberikan kepada individu, keluarga, dan masyarakat. Untuk menjadi perawat yang baik dan berpengertian, juga mempunyai kemampuan intelegensia yang tinggi, kompeten dan memiliki keterampilan yang baik dalam memberikan pelayanan keperawatan (Marriner-Torney, 1994)Kerangka Kerja Praktik: Teori ini melingkupi 21 masalah keperawatan Abdellah (Abdellah et al 1960) Penyusun Teori:
Orlando (1961)
Tujuan Keperawatan: Untuk berespons terhadap perilaku klien dalam memenuhi kebutuhan klien dengan segera. Untuk berinteraksi dengan klien untuk memenuhi kebutuhan klien secepat mungkin dengan mengidentifikasi perilaku klien, reaksi perawat, dan tindakan keperawatan yang dilakukan (Tores, 1986; Chinn dan Jacobs, 1995). Kerangka Kerja Praktik: Tiga elemen seperti perilaku klien, reaksi perawat, dan tindakan perawat membentuk situasi keperawatan (Orlando, 1961)
Penyusun Teori:
Hall (1962)
Tujuan Keperawatan: Untuk memberikan asuhan dan kenyamanan bagi klien selama proses penyakit (Torres, 1986). Kerangka Kerja Praktik: Seorang klien dibentuk oleh bagian-bagian berikut yang saling tumpang-tindih, yaitu: manusia (inti), status patologis, dan pengobatan (penyembuhan) dan tubuh (perawatan). Perawat sebagai pemberi perawatan (Mariner-Torney, 1994; Chinn dan Jacobs, 1995) Penyusun Teori:
Wiedenbach (1964)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individual dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan kemampuan untuk memenuhi tekanan atau kebutuhan yang dihasil dari suatu kondisi, lingkungan, situasi atau waktu (Torres, 1986). Kerangka Kerja Praktik: Praktik keperawatan berhubungan dengan individu yang memerlukan bantuan karena stimulasi perilaku. Keperawatan klinik memiliki komponen seperti filosofi, tujuan, praktik, dan seni (Chinn dan Jacobs, 1995)
Penyusun Teori:
Levine (1966)
Tujuan Keperawatan: Untuk melakukan konversi kegiatan yang ditujukan untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki klien secara optimal Kerangka Kerja Praktik: Model adaptasi manusia ini sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh
didasari oleh “empat prinsip konservasi keperawatan” (Levine, 1973)
Penyusun Teori:
Johnson (1968)
Tujuan Keperawatan: Untuk mengurangi stress sehingga klien dapat bergerak lebih mudah melewati proses penyembuhan. Kerangka Kerja Praktik: Kerangka dari kebutuhan dasar ini berfokus pada tujuh kategori perilaku. Tujuan individu adalah untuk mencapai keseimbangan perilaku dan kondisi yang stabil melalui penyelarasan dan adaptasi terhadap tekanan tertentu (Johnson, 1980; Torres, 1986) Penyusun Teori:
Rogers (1970)
Tujuan Keperawatan: Untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, mencegah kesakitan, dan merawat serta merehabilitasi klien yang sakit dan tidak mampu dengan
pendekatan humanistik keperawatan (Rogers, 1979). Kerangka Kerja Praktik: “Manusia utuh”
meliputi proses sepanjang hidup. Klien secara terus menerus berubah dan menyelaraskan dengan lingkungannya Penyusun Teori:
Orem (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk merawat dan membantu klien mencapai perawatan diri secara total Kerangka Kerja Praktik: Teori ini merupakan teori kurangnya perawatan diri sendiri. Asuhan keperawatan menjadi penting ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan, dan sosial (Orem , 1985) Penyusun Teori:
King (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk memanfaatkan komunikasi dalam membantu klien mencapai kembali adaptasi secara positif terhadap lingkungan. Kerangka Kerja Praktik: Proses keperawatan didefinisikan sebagai proses interpersonal yang dinamis antara perawat, klien dan sistem pelayanan kesehatan Penyusun Teori:
Travelbee (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individu atau keluarga untuk mencegah atau mengembangkan koping terhadap penyakit yang dideritanya, mendapatkan kembali kesehatannya, menemukan arti dari penyakit atau mempertahankan status kesehatan maksimalnya (Marriner-Torney, 1994). Kerangka Kerja Praktik: Proses interpersonal dipandang Tujuan Keperawatan: Untuk merawat dan membantu klien mencapai perawatan diri secara total Kerangka Kerja Praktik: Teori ini merupakan teori kurangnya perawatan diri sendiri. Asuhan keperawatan menjadi penting ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan, dan sosial (Orem , 1985) Penyusun Teori:
King (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk memanfaatkan komunikasi dalam membantu klien mencapai kembali adaptasi secara positif terhadap lingkungan. Kerangka Kerja Praktik: Proses keperawatan didefinisikan sebagai proses interpersonal yang dinamis antara perawat, klien dan sistem pelayanan kesehatan Penyusun Teori:
Travelbee (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individu atau keluarga untuk mencegah atau mengembangkan koping terhadap penyakit yang dideritanya, mendapatkan kembali kesehatannya, menemukan arti dari penyakit atau mempertahankan status kesehatan maksimalnya (Marriner-Torney, 1994). Kerangka Kerja Praktik: Proses interpersonal dipandang Tujuan Keperawatan: Untuk merawat dan membantu klien mencapai perawatan diri secara total Kerangka Kerja Praktik: Teori ini merupakan teori kurangnya perawatan diri sendiri. Asuhan keperawatan menjadi penting ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan, dan sosial (Orem , 1985) Penyusun Teori:
King (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk memanfaatkan komunikasi dalam membantu klien mencapai kembali adaptasi secara positif terhadap lingkungan. Kerangka Kerja Praktik: Proses keperawatan didefinisikan sebagai proses interpersonal yang dinamis antara perawat, klien dan sistem pelayanan kesehatan Penyusun Teori:
Travelbee (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individu atau keluarga untuk mencegah atau mengembangkan koping terhadap penyakit yang dideritanya, mendapatkan kembali kesehatannya, menemukan arti dari penyakit atau mempertahankan status kesehatan maksimalnya (Marriner-Torney, 1994). Kerangka Kerja Praktik: Proses interpersonal dipandang
BAB I
Teori-teori Keperawatan

A.

Latar Belakang
Keperawatan sebagai bagian integral pelayanan kesehatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang didasarkan pada ilmu keperawatan. Pada perkembangannya ilmu keperawatan selalu mengikuti perkembangan ilmu lain, mengingat ilmu keperawatan

merupakan ilmu terapan yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga dengan pelayanan keperawatan di Indonesia, kedepan diharapkan harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat serta teknologi bidang kesehatan yang senantiasa berkembang. Pelaksanaan asuhan keperawatan di sebagian besar rumah sakit Indonesia umumnya telah menerapkan pendekatan ilmiah melalui proses keperawatan. Profesi keperawatan adalah profesi yang unik dan kompleks. Dalam melaksanakan prakteknya, perawat harus mengacu pada model konsep dan teori keperawatan yang sudah dimunculkan. Konsep adalah suatu ide dimana terdapat suatu kesan yang abstrak yang dapat diorganisir dengan smbol-simbol yang nyata, sedangkan konsep keperawatan merupakan ide untuk menyusun suatu kerangka konseptual atau model keperawatan
.
Teori adalah sekelompok konsep yang membentuk sebuah pola yang nyata atau suatu pernyataan yang menjelaskan suatu proses, peristiwa atau kejadian yang didasari fakta-fakta yang telah di observasi tetapi kurang absolut atau bukti secara langsung.Yang dimaksud teori keperawatan adalah usaha-usaha untuk menguraikan atau menjelaskan fenomena mengenai keperawatan. Teori keperawatan digunakan sebagai dasar dalam menyusun suatu model konsep dalam keperawatan,dan model konsep keperawatan digunakan dalam menentukan model praktek keperawatan. Berikut ini adalah ringkasan beberapa teori keperawatan yang perlu diketahui oleh para perawat profesional sehingga mampu mengaplikasikan praktek keperawatan yang didasarkan pada keyakinan dan nilai dasar keperawatan. Penyusun Teori:
Nightingale (1860)
Tujuan Keperawatan: Untuk memfasilitasi “proses penyembuhan tubuh” dengan
memanipulasi lingkungan klien (Torres, 1986). Kerangka Kerja Praktik: Lingkungan klien dimanipulasi untuk mendapatkan ketenangan, nutrisi, kebersihan, cahaya, kenyamanan, sosialiasi, dan harapan yang sesuai Penyusun Teori:
Peplau (1952)
Tujuan Keperawatan: Untuk mengembangkan interaksi antara perawat dan klien Kerangka Kerja Praktik: Keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal (1952) Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur sistem asuhan kesehatan untuk memfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk mengembangkan hubungan interpersonal (Marriner-Torney, 1994) Penyusun Teori:
Henderson (1955)
Tujuan Keperawatan: Untuk bekerja secara mandiri dengan tenaga pemberi pelayanan kesehatan (Marriner-Torney, 1994), membantu klien untuk mendapatkan kembali kemandiriannya secepat mungkin. Kerangka Kerja Praktik: Praktik keperawatan membentuk klien untuk melakukan 14 kebutuhan dasar Henderson (Henderson, 1966) Penyusun Teori:
Abdellah (1960)
Tujuan Keperawatan: Untuk memberikan kepada individu, keluarga, dan masyarakat. Untuk menjadi perawat yang baik dan berpengertian, juga mempunyai kemampuan intelegensia yang tinggi, kompeten dan memiliki keterampilan yang baik dalam memberikan pelayanan keperawatan (Marriner-Torney, 1994)Kerangka Kerja Praktik: Teori ini melingkupi 21 masalah keperawatan Abdellah (Abdellah et al 1960) Penyusun Teori:
Orlando (1961)
Tujuan Keperawatan: Untuk berespons terhadap perilaku klien dalam memenuhi kebutuhan klien dengan segera. Untuk berinteraksi dengan klien untuk memenuhi kebutuhan klien secepat mungkin dengan mengidentifikasi perilaku klien, reaksi perawat, dan tindakan keperawatan yang dilakukan (Tores, 1986; Chinn dan Jacobs, 1995). Kerangka Kerja Praktik: Tiga elemen seperti perilaku klien, reaksi perawat, dan tindakan perawat membentuk situasi keperawatan (Orlando, 1961) Penyusun Teori:
Hall (1962)
Tujuan Keperawatan: Untuk memberikan asuhan dan kenyamanan bagi klien selama proses penyakit (Torres, 1986). Kerangka Kerja Praktik: Seorang klien dibentuk oleh bagian-bagian berikut yang saling tumpang-tindih, yaitu: manusia (inti), status patologis, dan pengobatan (penyembuhan) dan tubuh (perawatan). Perawat sebagai pemberi perawatan (Mariner-Torney, 1994; Chinn dan Jacobs, 1995) Penyusun Teori:
Wiedenbach (1964)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individual dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan kemampuan untuk memenuhi tekanan atau kebutuhan yang dihasil dari suatu kondisi, lingkungan, situasi atau waktu (Torres, 1986). Kerangka Kerja Praktik: Praktik keperawatan berhubungan dengan individu yang memerlukan bantuan karena stimulasi perilaku. Keperawatan klinik memiliki komponen seperti filosofi, tujuan, praktik, dan seni (Chinn dan Jacobs, 1995) Penyusun Teori:
Levine (1966)
Tujuan Keperawatan: Untuk melakukan konversi kegiatan yang ditujukan untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki klien secara optimal Kerangka Kerja Praktik: Model adaptasi manusia ini sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh
didasari oleh “empat prinsip konservasi keperawatan” (Levine, 1973)
Penyusun Teori:
Johnson (1968)
Tujuan Keperawatan: Untuk mengurangi stress sehingga klien dapat bergerak lebih mudah melewati proses penyembuhan. Kerangka Kerja Praktik: Kerangka dari kebutuhan dasar ini berfokus pada tujuh kategori perilaku. Tujuan individu adalah untuk mencapai keseimbangan perilaku dan kondisi yang stabil melalui penyelarasan dan adaptasi terhadap tekanan tertentu (Johnson, 1980; Torres, 1986) Penyusun Teori:
Rogers (1970)
Tujuan Keperawatan: Untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, mencegah kesakitan, dan merawat serta merehabilitasi klien yang sakit dan tidak mampu dengan
pendekatan humanistik keperawatan (Rogers, 1979). Kerangka Kerja Praktik: “Manusia utuh”
meliputi proses sepanjang hidup. Klien secara terus menerus berubah dan menyelaraskan dengan lingkungannya Penyusun Teori:
Orem (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk merawat dan membantu klien mencapai perawatan diri secara total Kerangka Kerja Praktik: Teori ini merupakan teori kurangnya perawatan diri sendiri. Asuhan keperawatan menjadi penting ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan, dan sosial (Orem , 1985) Penyusun Teori:
King (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk memanfaatkan komunikasi dalam membantu klien mencapai kembali adaptasi secara positif terhadap lingkungan. Kerangka Kerja Praktik: Proses keperawatan didefinisikan sebagai proses interpersonal yang dinamis antara perawat, klien dan sistem pelayanan kesehatan Penyusun Teori:
Travelbee (1971)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individu atau keluarga untuk mencegah atau mengembangkan koping terhadap penyakit yang dideritanya, mendapatkan kembali kesehatannya, menemukan arti dari penyakit atau mempertahankan status kesehatan maksimalnya (Marriner-Torney, 1994). Kerangka Kerja Praktik: Proses interpersonal dipandang sebagai hubungan manusia dengan manusia yang terbentuk selama sakit dan selama “mengalami penderitaan”
Penyusun Teori:
Neuman (1972)
Tujuan Keperawatan: Untuk membantu individu, keluarga, dan kelompok untuk mendapatkan dan mempertahankan tingkat kesehatan maksimalnya melalui intervensi tertentu Kerangka Kerja Praktik: Penurunan stress adalah salah satu tujuan dari sistem model praktik keperawatan (Torres, 1986). Tindakan keperawatan meliputi tindakan preventif tingkat primer, sekunder, atau tersier Penyusun Teori:
Patterson dan Zderad (1976)
Tujuan Keperawatan: Untuk berespons terhadap kebutuhan manusia dan dan membangun
ilmu “keperawatan yang humanistik” (Patterson dan Zderad, 1976; Chinn dan Jacobs, 1995)
Kerangka Kerja Praktik: Keperawatan humanistik memerlukan partisipasi untuk memahami
“keunikan” dan “kesamaan” dengan yang lain (Chinn dan Jacobs, 1995)
Penyusun Teori:
Leininger (1978)
Tujuan Keperawatan: Untuk memberikan perawatan yang konsisten dengan ilmu dan pengetahuan keperawatan dengan caring sebagai fokus sentral (Chinn dan Jacobs, 1995) Kerangka Kerja Praktik: Dengan teori transkultural ini, caring merupakan sentral dan menggabungkan pengetahuan dan praktik keperawatan (Leininger, 1980) Penyusun Teori:
Roy (1979)
Tujuan Keperawatan: Untuk mengidentifikasi tipe kebutuhan klien, mengkaji kemampuan adaptasi terhadap kebutuhan dan membantu klien beradaptasi Kerangka Kerja Praktik: Model adaptasi ini didasari oleh model adaptasi fisiologis, psikologis, sosiologis, serta ketergantungan dan kemandirian (Roy, 1980) Penyusun Teori:
Watson (1979)
Tujuan Keperawatan: Untuk meningkatkan kesehatan, mengembangkan klien pada kondisi sehatnya, dan mencegah kesakitan (Marriner-Torney, 1994). Kerangka Kerja Praktik: Teori ini mencakup filosofi dan ilmu tentang caring; caring merupakan proses interpersonal yang terdiri dari intervensi yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan manusia (Torres, 1986) Penyusun Teori:
Parse (1981)
Tujuan Keperawatan: Untuk memfokuskan pada manusia sebagai suatu unit yang hidup dan kualitas partisipasi manusia terhadap pengalaman sehat (Parse, 1990) (Nursing as science and art [Marriner-Torney, 1994]). Kerangka Kerja Praktik: Manusia secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan dan berpartisipasi dalam upaya mempertahankan kesehatannya (Marriner-Torney, 1994). Sehat adalah suatu kontinu, proses yang terbuka bukan sekedar status sehat atau hilangnya penyakit (Parse, 1990; Marriner-Torney, 1994; Chinn dan Jacobs, 1995)
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M. E. (2002).
Nursing care plane: Guidelines for planning & documenting patient care, 3
rd
edition
, FA. Davis. George. (1995).
Nursing Theories (The Base for Profesional Nursing Practice)
, Fourth Edition. USA : Appleton & Lange. Hidayat AA. (2004).
Pengantar konsep dasar keperawatan
. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. (2001).
Proses dan Dokumentasi Keperawatan : Konsep dan Praktik.
Jakarta : Salemba PPNI (2000) Standar Praktik Keperawatan. Jakarta : PPNI. Tomey Ann Marriner, Alligood M.R.(2006).
Nursing Theorists and Their work
. 6 Ed. USA : Mosby Inc. http://www.sandiego.edu/acamics/nursing/theory/Orlando

HOLISTIC CARE

HOLISTIC CARE
Klinik Keperawatan Terpadu HOLISTIC CARE


2009-06-10 21:59:21

Klinik Keperawatan Terpadu HOLISTIC CARE merupakan klinik yang dikelola oleh Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Pembentukan klinik ini merupakan bagian dari program strategis pengembangan fakultas dalam upaya untuk mengembangkan terapi modalitas keperawatan dan menerapkan ilmu-ilmu keperawatan dalam bentuk pengabdian terhadap masyarakat dalam bidang kesehatan.



Pelayanan pada klinik HOLISTIC CARE didasarkan pada konsep keperawatan holistik yang meyakini bahwa penyakit yang dialami seseorang bukan saja merupakan masalah fisik yang hanya dapat diselesaikan dengan pemberian obat semata. Pelayanan keperawatan holistik memberikan pelayanan kesehatan dengan lebih memperhatikan keutuhan aspek kehidupan sebagai manusia yang meliputi kehidupan jasmani, mental, sosial dan spiritual yang saling mempengaruhi. Klinik ini tidak saja menawarkan pelayanan keperawatan dengan memanfaatkan teknologi perawatan moderen maupun beragam terapi alternatif ataupun komplementer, tetapi juga pelayanan konseling dan promosi kesehatan untuk semua tahapan usia.



Visi Klinik HOLISTIC CARE adalah menjadi Klinik Keperawatan terpadu sebagai klinik keperawatan yang terkemuka dengan standar nasional maupun internasional dan menjadi model dalam pelayanan keperawatan mandiri dengan pendekatan holistik dan memanfaatkan teknologi moderen dan terapi alternatif dan komplementer berdasarkan teori pembuktian klinis dan keahlian tim. Dengan visi tersebut, klinik ini memiliki misi mencegah timbulnya masalah kesehatan melalui promosi kesehatan dan deteksi dini masalah kesehatan, mengatasi berbagai masalah kesehatan melalui pemberian pelayanan keperawatan secara holistik dengan menggunakan teknologi perawatan moderen maupun alternatif dan komplementer serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi pasien dalam mengatasi masalah kesehatannya.



MOTO Klinik
C Caring – Kami senantiasa mempertahankan pelayanan bernuansa caring
A Accessible – Kami memberikan pelayanan yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
R Research-based – Kami mengintergrasikan pembuktian klinis dengan keahlian kami dan pilihan klien dalam membuat keputusan kesehatan yant tepat bagi dirinya.
E Empowerment – Kami memberikan informasi yang tepat bagi klien agar mampu memberdayakan dirinya dalam membuat keputusan yang tepat bagi kesehatannya.



Ragam Pelayanan Klinik
Klinik ini menyediakan berbagai pelayanan antara lain deteksi dini masalah-masalah kesehatan, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Pelayanan deteksi dini meliputi:

1. gangguan tumbuh kembang anak,
2. deteksi dini diabetes,
3. osteoporosis,
4. kanker payudara,
5. perubahan visus dan kelainan buta warna,
6. penyakit lain yang dideteksi melalui Iridologi.


Pendidikan dan konseling kesehatan diberikan sesuai dengan masalah kesehatan yang dialami klien. Perawatan kesehatan diberikan pada klien yang memiliki berbagai masalah kesehatan antara lain:

1. perawatan luka dan stoma,
2. perawatan kaki diabetik dan luka diabetik.

Layanan perawatan kesehatan di rumah disediakan bagi klien yang memiliki berbagai masalah kesehatan seperti klien:

1. pasca stroke,
2. demensia,
3. lansia,
4. gangguan mental,
5. menggunakan alat-alat bantu kesehatan seperti sonde lambung dan kateter urin.

Terapi komplementer yang tersedia di klinik HOLISTIC CARE yaitu:

1. akupuntur kesehatan,
2. aroma terapi,
3. terapi relaksasi,
4. terapi herbal,
5. terapi hipnosis.


Sedangkan layanan konseling yang disediakan meliputi konseling:

1. Ibu hamil dan menyusui,
2. sexualitas remaja,
3. HIV/AIDS,
4. adaptasi terhadap penyakit-penyakit kronik seperti Diabetes Melitus,
5. pasca stroke,
6. hipertensi,
7. gagal Jantung,
8. gangguan mental.



Tim Ahli
Tim perawatan terdiri dari perawat-perawat profesional yang memiliki sertifikat keterampilan khusus dan berpengalaman di bidangnya masing-masing yang kesemuanya merupakan staf FIK-UI.

Fasilitas Klinik
Ruang klinik yang nyaman dengan air conditioner dan pelayanan yang ramah disiapkan bagi klien Klinik. Tersedia peralatan untuk mendeteksi masalah kesehatan secara cepat antara lain penggunaan iridologi, spygnomanometer, glukometer, pendeteksi osteoporosis, dan denver development assessment tool, serta berragam produk perawatan luka, stoma dan perawatan kaki diabetik. Ruang pendidikan kesehatan yang dilengkapi dengan audiovisual, poster dan brosur yang informatif untuk diberikan secara cuma-cuma kepada klien.

Kebebasan Vs Penanganan pencegahan bahaya

Kebebasan Vs Penanganan pencegahan bahaya

Kebebasan:
Meskipun setiap orang ingin bebas dan selalu mendambakan sebuah kebebasan—termasuk kebebasan beragama (religious freedom)—akan tetapi, ironisnya, tidak semua orang mau memberikan kebebasan itu kepada orang lain. Dalam konteks Islam, misalnya, walaupun kebebasan beragama dan sikap beragama yang inklusif-pluralis adalah sesuatu yang inheren dalam agama ini, diakui secara verbal dalam Alqur’an

Penanganan pencegahan bahaya:

Melakukan sesuatu upaya agar sesuatu yang diprediksi akan terjadi, tidak jadi terjadi atau kalaupun terjadi skalanya lebih kecil / lebih ringan.


Contoh;

Bapak N berusia 47 tahun sehari hari sebagai tukang becak berpenghasilan Rp 20.000,-. Istrinya berusia 42 tahun, berjualan sayur dengan laba Rp 10.000,-/hari. Suami-istri ini memiliki 6 orang anak, paling besar 11 tahun kemudian berturut-turut 9 tahun, 7 tahun, 5 tahun, 3 tahun, dan 2 bulan. Semua anaknya tampak kurus, kurang gizi, dan menderita skabies. Anaknya yang berusia 3 tahun menderita bronkitis dan yang berusia 7 tahun pernah menderita tipus abdominalis. Bapak N adalah warga yang sulit bertetangga dan setia diberi bantuan, misalnya makanan oleh tetangganya, selalu ditolak. Oleh perawat Puskesmas bapak/ibu N sudah sering dianjurkan untuk ber-KB, namun mereka selalu menolaknya dan mengatakan bahwa ber-KB bertentangan dengan keyakinanya. Setiap perawat berkunjung, mereka selalu menghindar, bahkan pada kunjungan terakhir, mereka tidak mau menerima dan menyuruh perawat meninggalkan rumahnya. Ini membuat perawat dan petugas puskesmas jera, walaupun mereka tahu bahwa anak Bapak N terancam gangguan akibat kurang gizi, anak kelima terganggu pernapasannya, dan risiko ibu N untuk hamil lagi cukup besar. Setelah kunjungan perawat yang terakhir, satu tahun kemudian ibu N hamil lagi dan anak kelimanya meninggal karena sesak napas.

Evaluasi:

Jadi setiap orang mempunyai kebebasan yang maka akan timbul hal-hal yang tidak kita inginkan.Maka kita harus bisa mengotrol diri dari bahaya yang timbul akibat kebebasan yang berlebihan.

Ex;
Dalam kehidupan sehari-hari,kita bisa membeli rokok dengan bebas,karena kita membeli rokok tersebut dengan uang hasil jerih payah kita sendiri,tapi di sisi lain bidang kesehatan menyatakan bahwa merokok dapat merusak kesehatan tubuh,selain itu rokok juga berdampak negatif bagi orang lai(perokok pasif).Maka walaupun kita bebas memilih apa saja yang diinginakn kita harus tetap bisa mencegah bahaya yang berdampak akibat ulah kita terhadap orang lain dan juga lingkungan di sekitar kita.

Euthanasia

Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu a’lam.

PENGATURAN DI INDONESIA
Merujuk pada KUHP Pasal 304 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau
membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia
wajib memberikan kehidupan,perawatan, kepada
orang itu,karena hukum yang berlaku baginya atau
karena perjanjian,dipidana dengan pidana penjara
selama- lamanya dua tahun delapan bulan atau
denda sebanyak – banyaknya empat ribu limaratus
rupiah”

Pasal 306 KUHP
1. “Kalau salah satu perbuatan tersebut dalam pasal
304 dan 305 berakibat luka berat ,yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
tujuh tahun enam bulan”.
2. “Kalau salah satu perbuatan tersebut berakibat
matinya orang,maka yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan
tahun”.
Pasal 344 KUHP
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh – sungguh orang itu
sendiri dipidana dengan pidana penjara selama – lamanya duabelas tahun”.
Pasal 345 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya empat tahun,kalau jadi orangnya membunuh diri”

 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men. Kes/SK/X/1983 tentang kode Etik Kesehatan’ Dokter yang melakukan tindakan euthanasia ( aktif khususnya ) dapat diberhentikan dari jabatannya, hal in sesuai pasal 10 SK MenKes. Yaitu:
 Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makluk insani.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

TRANSPLANTASI ORGAN DAN JARINGAN TUBUH

I.DEFINISI

Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat.
Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasie dengan kegagalan organnya,karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran,namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja,karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medik,yaitu dari segi agama,hokum,budaya,etika dan moral.kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplatasi,adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor,LRD)dan donasi organ jenazah.karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait(hulum,kedokteran,sosiologi,pemuka agama,pemuka masyarakat),pemerintah dan swata.
II.JENIS-JENIS TRANSPLANTASI

Kini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan ,baik berupa cel,jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut:

1.TRANSPLANTASI AUTOLOGUS
Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam tubuh itu sendiri,yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi,

2.TRANSPLANTASI ALOGENIK
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang sama spesiesnya,baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga,

3.TRANSPLANTASI SINGENIK
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik,misalnya pada gambar identik,

4.TRANSPLANTASI XENOGRAFT
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang tidak sama spesiesnya.


Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang otak,
- Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang dan darah (transfusi darah).
-Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung,hati,ginjal,kornea,pancreas,paru-paru dan sel otak.
Dalam 2 dasawarsa terakhir telah dikembangkan tehnik transplantasi seperti transplantasi arteria mamaria interna dalam operasi lintas koroner oleh George E. Green. dan Parkinson


A.SEL INDUK

Berasal dari bahasa inggris (stem cell) merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan mempunyai potensi untuk dapat berdeferensiasi menjadi jenis sel lain.kemampuan tersebut memungkinkan sel induk mrnjadi sistem perbaikan tubuh dengan menyediakan sel-sel baruselama organisne bersangkutan hidup.
Peneliti medis meyakini bahwa penelitian sel induk berpotensi untuk mengubah keadan penyakit manusia deangan cara digunakan perbaikan jaringan atau organ tubuh tertentu,hal ii tampaknya belum benar-benar diwujudkan dewasa ini.
Penelitian sel induk dapat dikatakan dimulai pada tahun 1960_an setelah dilakukannya penelitian oleh ilmuan kanada,Ernest A.McCulloch dan James E.Till.

B.MACAM-MACAM SEL INDUK

Berdasarkan potensi :
• Sel induk ber-totipotensi (toti=total)
• Sel induk ber-multipotensi
• Sel induk ber-unipotensi (uni-tunggal)

Berdasarkan asalnya :
Sel induk embrio (embrio stem cell)
Sel induk dewasa (adult stem cell)

Menurut sumbernya transplantasi sel induk dapat dibagi menjadi :

Transplantasi sel induk dari sumsum tulang (bone marrow transplantation)
Sumsun tulang adalah jaringan spond yang terdapat dalam tulang-tulang besar seperti tulang pinggang,tulang dada,tulang punggung dan tulang rusuk.
Sumsum tulang merupakan sumber yang kaya akan sel induk hematopoetik.

Transplantasi sel induk darah tepi (peripheral blood stem cell transplantation)
Peredaran tepi merupakan sumber sel induk walaupun jumlah sel induk yang terkandung tidak sebanyak pd sumsum tulang.untuk jumlah sel induk mencukupi suatu transplantasi.biasanya pada donor diberikan granulocyte-colony stimulating factor (G-CSF). Transplantasi dilakukan dengan proses yang disebut Aferesis.

Transplantasi sel induk darah tali pusat
Darah tali pusat mengandung sejulah sel induk yang bermakna dan memiliki keunggulan diatas transplantasi sel induk dari sumsum tulangatau dari darah tepi bagi pasien-pasien tertentu.Transplantasi sel induk dari darah tali pusat telah mengubah bahan sisa dari proses kelahiran menjadi sebuah sumber yang dapat menyelamatkan jiwa.


III.ASPEK HUKUM TRANSPLANTASI

Dari segi hukum ,transplantasi organ,jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia,walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pdana yaitu tindak pidana penganiayaan.tetapi mendapat pengecualian hukuman,maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana,dan dapat dibenarkan.

Dalam PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang transplantasi sebagai berikut:

Pasal 1.
c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut.

d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal (fungsi)yang sama dan tertentu.

e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi dengan baik.
f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain untuk keperluan kesehatan.

g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,pernafasan,dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti.

Ayat g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar nasionalnya mencetuskan fatwa tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible,atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.

Pasal 10.
Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia.

Pasal 11
1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjukolehmentri kesehatan.
2.Transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan


Pasal 12
Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.

Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan 2(dua) orang saksi.

Pasal 14
Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat.

Pasal 15
1.Senbelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya,termasuk dokter konsultan mengenai operasi,akibat-akibatya,dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
2.Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar ,bahwa calon donor yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.

Pasal 17
Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.

Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri.

Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa oasal tentang transplantasi sebagai berikut:
Pasal 33.
1.Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
2.Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang dilarang untuk tujjuan komersial.

Pasal 34
1.Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu.
2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.
3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

IV.ASPEK ETIK TRANSPLANTASI
Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu:
Pasal 2.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.
Pasal 10.
Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.

Pasal 11.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita.

Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981,pada hakekatnya telah mencakup aspek etik,mengenai larangan memperjual belikan alat atu jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta kompensasi material.
Yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya,yang dilakukan oleh (2) orang doteryang tidak ada sangkt paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan transplantasi,karena bertambah segar organ tersebut bertambah baik hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi penyimpangan karena pasien yang akan diambil organnya harus benar-benar meninggal dan penentuan saat meninggal dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan denyut jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan dokter transplantasi agar hasilnya lebih objektif.

Senin, 13 Desember 2010

Tugas EBN finish

Tugas EBN

Problem:
kenapa obat tradisional jeruk nipis dan kecap lebih efektif menyembuhkan penyakit batuk dari pada menggunakan obat kimia?


Intervation;
1.tindakan pertama pada penyakit batuk menggunakan jeruk nipis dan kecap
2.dengan di obati dengan menggunakan obat kimia.
3.dengan cara menggunakan jahe dengan jeruk nipis.

Compration:
1.Obat batuk yang paling mujarab adalah jeruk nipis dan kecap. Gak jauh – jauh kok nyarinya karena bahannya ada disekitar kita dan juga sangat sering dipakai untuk masakan sehari – hari. Kamu percaya gak,,,,
Nah ini dia kalo kamu pengen batuk kamu cepat sembuh nah coba dech yang satu ini, bisa gak untuk menghilangkan batuk
Perbandinganya 40%
2.Apabila di obati denagn obat kimia yaitu dengan dektral forte juga bisa,tapi kurang efektif,karena semakin banyak mengkonsumsi obat kimia maka pengaruh tarhadap ginjal juga kurang baik.
Perbandinganya20%
3.Jahe juga berfungsi untuk obat batuk dicampur dengan air jeruk nipis, caranya sangat mudah dech, ambil jahe sebesar induk jari lalu dibakar ( dipanggang ) diatas kompor, jangan sampe gosok ya,,,biarkan aja agak layu supaya air jahe bisa keluar, setelah itu ambil satu buah jeruk nipis itu juga dipanggang sampai kelihatan layu,lalu diangkat keduanya dan kemudian jahe agak dipukul biar airnya keluar begitu juga dengan jeruk nipis yang dipanggang tadi ambil dan belah dua airnya diperas,,,sediakan satu gelas air hangat masukkan jahe yang sudah dupukul tadi dan air perasan jeruk nipis kedalam gelas air hangat itu lalu diaduk sampai rata, nah silahkan lah diminum dengan perlahan – lahan. jahenya biarkan mengendap dibawah,
Perbandingannya 40%


Outcame:
jadi evaluasinya pengobatan dengan cara obat tradisional mengkonsumsi jeruk nipis dan kecap lebih efektif dari pada menggunakan obat kimia.

Rabu, 01 Desember 2010

kloning


KLONING

KLONING Definisi: Pembiakan adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya.

 Terapan: Kloning bisa diterapkan terhadap tumbuhan, binatang bahkan manusia.

 Prosedur Kloning: Kloning dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) yang telah diambil ini selnya (nukleus) dari tubuh manusia yang selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita.

 Perbandingan antara Pembuahan Alami dengan Kloning: Pembuahan alami berasal dari proses penyatuan sperma yang mengandung 23 kromosom dan ovum yang mempunyai 23 kromosom. Ketika menyatu jumlah kromosomnya menjadi 46.

 Jadi anak yang dihasilkan akan mempunyai ciri ciri yang berasal dari kedua induknya.

Dalam proses kloning, sel yang diambil dari tubuh manusia telah mengandung 46 kromosom, sehingga anak yang dihasilkan dari kloning hanya mewarisi sifat-sifat dari orang yang menjadi sumber pengambilan inti sel tubuh.

 Hukum Kloning: a) Kloning tumbuhan dan hewan Memperbaiki kualitas dan produktivitas tanaman dan hewan menurut syara’ termasuk mubah. Memanfaatkan tanaman dan hewan, melalui proses kloning, untuk mendapatkan obat hukumnya sunnah. Sebab berobat hukumnya sunnah. Innallaha azza wa jalla kaitsu kholaqodda’a kholaqodda wa ‘a fatadawau "Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kamu" (HR. Imam Ahmad) b) Kloning Embrio Kloning embrio terjadi pada sel embrio yang berasal dari rahim istri atas pertemuan sel sperma suami dengan sel telur istri. Sel embrio itu kemudian diperbanyak hingga berpotensi untuk membelah dan berkembang. Setelah dipisahkan sel embrio itu selanjutnya dapat ditanamkan dalam rahim perempuan asing (bukan istri). Kalau ini yang terjadi maka hukumnya haram. Akan tetapi jika sel-sel embrio itu ditanamkan ke dalam rahim pemilik sel telur, maka kloning tersebut hukumnya mubah. c) Kloning Manusia Walaupun dengan alasan untuk memperbaiki keturunan; biar lebih cerdas, rupawan lebih sehat, lebih kuat dll, kloning manusia hukumnya haram. Dalil keharamannya adalah sebagai berikut: 1) Proses kloning tidak alami Wa ‘abbahu kholaqozzau jainiz zakaro wal untsa min nutfatin idza tumna (Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani yang dipancarkan. QS An Najm 45-46) 2) Produk kloning tidak mempunyai ayah Yaa ayyuhannnas, inna kholagnakum, min zakarin wa untsa (Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. QS. Al Hujarat 13) Ud ‘uhum li aba’ihim huwa ‘aqsyatu indallah Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah) QS Al Ahzab 5) 3) Kloning manusia menghilangkan nasab (garis keturunan) Islam mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriwayatkan oleh Ibnu Abas RA Manin tasaba ilaa ghoiri abihi, autawalla ghoiro muwalihi, fa’alaihi laknatullah wal malaikatihi wan nasi aj’main (HR; Ibnu Majah) (Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (budak) bertuan kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia) 4) Kloning mencegah pelaksanaan banyak hukum syara; hukum perkawinan, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, hak waris, hubungan kemahraman, dll. Kloning juga menyalahi fitrah

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KLONING

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIWOZ6LnisAArgd1psR62u89TZ0WkV61dF6oshjhqfnSUIQ92DZd0O14Lq8FKSDZjHKUAba-p4Ho-unkb0KMnDYoBWsGKS-HCzKjHwdViZSUwfxcY7XE30_z-PNipFwrqYxnD_jXZ2g_3I/s320/49dossier97.jpg

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini saat Allah menciptakan manusia. Dia juga membekali akal dan Pikiran untuk dapat mengetahui atas kebesaran penciptanya, serta menambah keimanannya.
Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat maju saat ini, banyak cara yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk bisa memperoleh keturunan baik dengan alami ataupun dengan bantuan teknologi. Keinginan untuk mendapatkan keturunan mendorong pasangan suami istri melakukan berbagai usaha. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah kloning
Peneliti sering tidak menyadari bahwasannya di dalam tubuh kita ini terdiri dari ribuan sel yang bentuk dan fungsinya beraneka ragam. Setiap sel yang sejenis akan membentuk organ. Mereka membentuk suatu kesatuan yang disebut sistem. Demikian Allah yang maha penyayang yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan.
Berkat kemajuan yang sudah dicapai, maka tidak mengherankan bila sebuah rekayasa genetika dan bio teknologi menjadi suatu kajian yang ilmiah, serta prestasi ilmu pengetahuan yang spektakuler dan penuh kontroversi. Seperti hanya keberhasilan kloning hewan yang dilakukan oleh ilmuwan Inggris yang bernama Dr. Ian Wilmut terhadap seekor domba yang diberi nama Dolly.
Istilah kloning atau klonasi berasal dari kata clone (bahasa Greek) atau klona, yang secara harfiah berarti potongan/pangkasan tanaman. Dalam hal ini tanam-tanaman baru yang persis sama dengan tanaman induk dihasilkan lewat penanaman potongan tanaman yang diambil dari suatu pertemuan tanaman jantan dan betina. Melihat asal bahasa yang digunakan, dapat dimengerti bahwa praktek perbanyakan tanaman lewat potongan/pangkasan tanaman telah lama dikenal manusia. Karena tidak adanya keterlibatan jenis kelamin, maka yang dimaksud dengan clonasi adalah suatu metode atau cara perbanyakan makhluk hidup (atau reproduksi) secara seksual. Hasil perbanyakan lewat cara semacam ini disebut klonus/klona, yang dapat diartikan sebagai individu atau organisme yang dimiliki genotipus yang identik.
Klon atau clone berasal dari bahasa Yunani yang artinya pemangkasan (tanaman). Istilah ini semula digunakan untuk potongan/pangkasan tanaman yang akan ditanam. Kini, setelah mengalami kemajuan tehnologi sudah berubah menjadi rekayasa genetika.
Selama ini reproduksi aseksual hanya terjadi pada bakteri, serangga, cacing tanaman. Dengan perkembangan bioteknologi, para ahli genetika menemukan cara reproduksi makhluk tanpa harus melalui proses pertemuan sperma dan sel ovum yakni dengan mereplikasi (meng-copy) fragmen DNA yang akan di kloning dari sel suatu makhluk hidup seperti sel rambut, tulang, otot, dll.
Kloning manusia menjadi isu pembicaraan semakin menarik para ulama akhir-akhir ini. Sejak keberhasilan kloning Domba 1996, muncullah hasil kloning lain pada monyet (2000), lembu (2001), sapi (2001), kucing (2001) dan dikomersialkan pada 2004, kuda (2003), anjing, serigala dan kerbau. Selain itu, beberapa lembaga riset telah berhasil mengkloning bagian tubuh manusia seperti tangan. Kloning bagian tubuh manusia dilakukan untuk kebutuhan medis, seperti tangan yang hilang karena kecelakaan dapat dikloning baru, begitu juga jika terjadi ginjal yang rusak (gagal ginjal). Dan terakhir, ada dua berita pengkloningan manusia yakni Dokter Italia Kloning Tiga Bayi dan Dr. Zavos Mulai Kloning Manusia.
Kloning manusia mempunyai proses atau cara yang hampir sama dengan proses bayi tabung. Pertama dilakukan pembuahan sperma dan ovum diluar rahim, setelah terjadi pembelahan (sampai maksimal 64 pembelahan) ditanam di dalam rahim, sel intinya diambil dan diganti dengan sel inti manusia yang akan di kloning. Proses selanjutnya sebagaimana pada kehamilan biasa.
Kloning terhadap manusia merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia. Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu organisme.
Untuk reproduksi makhluk hidup secara aseksual (tanpa diawali proses pembuahan sel telur oleh sperma, tapi diambil dari inti sebuah sel). Dalam cloning manusia (human cloning), selain dibutuhkan sel yang akan dikloning, dibutuhkan pula ovum (sel telur) dan rahim. Tanpa ovum tidak bisa dikloning dan tanpa rahim, sel yang dikloning pada ovum akan mati.
Permasalahan kloning merupakan permasalahan kontemporer (kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama yang mengharamkan kloning manusia memiliki beberapa dalil yang menguatkan pendapat mereka. Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriway­atkan dari Ibnu 'Abbas RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
"Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram."(HR Muslim)
Kloning yang bertujuan memproduksi manusia-manusia yang unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan jelas mengharuskan seleksi terhadap para laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat-sifat unggul terse­but, tanpa mempertimbangkan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Dengan demikian sel-sel tubuh akan diambil dari laki-laki dan perempuan yang mempun­yai sifat-sifat yang diinginkan, dan sel-sel telur juga akan diambil dari perempuan-perempuan terpilih, serta diletakkan pada rahim perempuan terpilih pula, yang mempunyai sifat-sifat keunggulan. Semua ini akan mengakibatkan hilangnya nasab dan bercampur aduknya nasab.
Anak-anak produk proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan. Allah SWT berfirman :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى مِنْ نُطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى
"dan Bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan." (QS. An Najm : 45-46)
Allah SWT berfirman :
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya." (QS. Al Qiya>mah : 37-38)
Pendapat diatas juga didukung oleh KH Ali Yafi, beliau mengatakan manusia tidak dapat disamakan dengan hewan dan tumbuhan untuk dikloning. Jika tetap disamakan dengan hewan dan tumbuhan, derajat manusia akan turun. Oleh karena itu kloning manusia haram.
Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara', seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubun­gan 'as}abah, dan lain-lain. Di samping itu kloning akan mencampur adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Kloning manusia sungguh merupakan perbuatan keji yang akan dapat menjungkir balikkan struktur kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pandangan ulama kontemporer seperti Quraish Shihab, Ali Yafi, Abdel Mufti Bayoumi, Yusuf Al-Qardhawi, HM Amin Abdullah dan masih banyak lagi ulama-ulama yang lain.
Penulis mempunyai pendapat yang berbeda tentang kemahraman melakukan kloning manusia , hal ini disebabkan kloning merupakan hal yang patut di sukuri karena sebagai salah satu penemuan yang dapat dimanfaatkan sebagai solusi bagi pasangan yang mengalami gangguan ketidak suburan.
Penulis beralasan di karenakan argumen dari pandangan ulama kontemporer sangatlah umum dan tidak ada spesifikasi masalah. Sedangkan penulis beranggapan dengan membolehkan dilakukannya bayi tabung oleh pasangan suami istri, maka itu juga salah satu celah untuk di boleh seseorang pasangan suami isteri untuk melakukan upaya pengkloniangan manusia.
Di dalam agama Islam pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga, serta sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari'at Islam.
Sedangkan anak merupakan mutiara keluarga. Kehadirannya selalu ditunggu di setiap perkawinan sepasang suami isteri. Jika ia tidak hadir dalam rentang waktu cukup panjang dalam sebuah perkawinan, akan membuat cemas banyak pihak, khususnya orang tua serta para kerabat. Anak merupakan magnet kuat untuk menjaga keutuhan suatu rumah tangga.
Infertilitas atau tidak kesuburan dapat menjadi sumber kecemasan pada pasangan suami istri. Untuk menghasilkan anak (reproduksi) setiap pasangan harus subur (fertil) dengan syarat - syarat pada seorang perempuan di antaranya sistem dalam indung telur mampu menghasilkan telur secara teratur (setiap empat atau enam minggu), saluran sel telur berfungsi dengan normal dan bisa menghantarkan telur dan sperma, rahim mampu mengembangkan dan mempertahankan telur yang sudah dibuahi hingga mencapai maturitas (38 minggu dihitung dari haid terakhir)
Adapun syarat untuk seorang laki-laki di antaranya buah pelir (buah zakar) mampu menghasilkan sperma normal yang cukup jumlahnya untuk membuahi sel telur. Saluran zakar mampu menghantarkan sperma sampai ke penis. Kemampuan untuk mempertahankan ereksi, kemampuan untuk mencapai ejakulasi agar sperma dapat dikeluarkan ke dalam liang senggama
Infertilitas adalah suatu kondisi dimana suami istri belum mampu mempunyai anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
Seorang perempuan seringkali diopinikan sebagai faktor utama penyebab kegagalan menghasilkan anak (reproduksi). Pendapat itu tidak beralasan sebab gangguan ketidak suburan pada seorang perempuan bukanlah penyebab utama. Gangguan infertilisasi pada pasangan inferitil, sekitar 40 % adalah perempuan dan 40% laki-laki. Sisanya 20%, karena kedua pasangan atau penyebabnya belum diketahui.
Akan tetapi, sistem reproduksi wanita sering dianggap sebagai sebuah sistem yang lebih komplek daripada sistem reproduksi pria. Hal tersebut terjadi karena hampir seluruh sistem reproduksi manusia terjadi dalam sistem reproduksi wanita. Dalam perkembangan ilmu kedokteran sudah banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang pasangan yang tidak mempunyai pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan di dalam ikatan perkawinan.
Seperti hanya dengan melakukan general check up kepada kedua pasangan agar diketahui penyebab terjadinya infertilisasi. Setelah diketahui maka cara yang dapat dipilih adalah dengan melakukan terapi kesuburan, inseminasi buatan, bayi tabung, dan yang terbaru adalah dengan melakukan kloning. Cara itu semua menjadi sebuah pilihan yang bisa menjadikan sebuah solusi untuk mereka.
Dengan banyaknya solusi yang diberikan oleh ilmu kedokteran untuk dapat memperoleh keturunan, pada satu sisi adanya penemuan medis tentang upaya menghasilkan anak (reproduksi) dengan melakukan kloning merupakan prestasi yang patut disukuri dan terus dikembangkan. Tetapi pada sisi lain menimbulkan persoalan baru karena ini berkaitan dengan bagaimana status anak yang dihasisilkan dari proses kloning tersebut.